Sabtu 19 Apr 2025

Notification

×
Sabtu, 19 Apr 2025

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Teori Seni dalam Dunia Pendidikan (Bagian 2)

| Juli 20, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-09-11T05:34:32Z

Teori-teori seni yang
dikemukakan di atas umumnya berasal dari ahli-ahli seni dalam
pengertian sebenarnya (bukan pengajar di sekolah umum), umumnya adalah pengajar
di Perguruan tinggi dan juga filsuf seni. Herbert Read misalnya bukan
ahli pendidikan, dia adalah penyair dan kritikus khususnya kritikus seni patung
di Inggris, Thomas Munro adalah ahli sejarah seni di
Western Reserve University dan kurator museum di Cleveland Museum of
Art, Jhon Dewey adalah filsuf dan pengajar di University of
Michigan dan juga di University of Minnesota,  teori-teori
lainnya adalah teori “pengiring” yang dipengaruhi oleh para ahli ini,
kecuali Gardner dan lain-lain adalah psikolog dan juga pendidik. Pendidik seni
yang dianggap luas pengaruhnya adalah Elliot W. Eisner ( 1933 -2014) dianggap sebagai
teoritikus terkemuka pendidikan seni dan estetika di Amerika Serikat. Pengajar
dan ahli seni lainnya, seperti Edmund Burke Feldman, juga luas pengaruhnya,
karena menjadi bacaan pokok di jurusan Seni Rupa ITB sekitar tahun 80-an, terutama
untuk kritik seni. Namun sayang di Amerika beliau kurang populer, karena
predikat profesor emeritus yang di sandangnya.

Setelah konsep ketrampilan,
muncul konsep ekspresi untuk pendidikan seni, namun tidak seluruhnya para
pelaksana di lapangan mengerti dengan konsep ini, yaitu berubahnya mata

pelajaran menggambar menjadi mata pelajaran yang bersifat ekspresi (ungkapan).
Akibatnya, tidak jarang pelaksanaannya kembali pada konsep lama. Pembaharuan
ini semakin terhambat dengan pecahnya perang dunia dua. (catatan
penulis: Tentu saja tidak mengerti sebab apa yang dimaksud dengan ekspresi
dalam seni menurut pandangan barat bukan ketrampilan menggambar,
tetapi ekspresi yang terungkap pada lukisan, etsa, litho dan
sebagainya yang tidak dikenali para guru  di zaman itu dan atau sampai
sekarang. Menurut penulis masih banyak pokok soal yang mendasar yang dapat
didiskusikan.

Sekarang ini, sekolah-sekolah
Profesi Seni sudah berkembang di Indonesia seperti di ISI diberbagai daerah dan
ITB Bandung dan mengambil spesialisasi dan corak yang khas sesuai dengan
tuntutan masing-masing sekolah tinggi ybs.

Teori-teori pendidikan di sekolah
umum seperti (1) Pendidikan Seni Berbasis Anak; (2) Pendidikan Seni Berbasis
Disiplin; (3) Pendidikan Seni Berbasis Kontekstual/Multikultural (yg tidak di
bahas pada bgn ini)  pada dasarnya adalah diskursus dan perbedaan tujuan
dalam kependidikan seni yang tidak tuntas. Bagi yang ingin dapat bahan tentang
ini lebih lanjut lihat tulisan-tulisan pak Sofyan Salam, dosen Universitas
Negeri Makasar,
di, http://sarifudin-zee.blogspot.com/2012/11/bahan-bacaan-pendidikan-seni-rupa_7378.html

Berbagai teori seni ini di negara
federal seperti di Amerika tidak menjadi masalah, sebab setiap negara bagian
bisa memiliki pandangan berbeda dalam menerapkan pendidikan seni di sekolah non
profesi Seni (sekolah umum).

Berdasarkan beberapa pandangan
tentang konsep seni, pada dasarnya mencakup dua kutup kecenderungan konsep
yaitu seni sebagai keterampilan dan seni sebagai ekspresi. Tetapi
“medium” ekspresi seni itu sangat luas.Medium ekspresi yang dikenal
di Indonesia umumnya hanya pensil , kertas dan dan cat minyak,

Hakekat fungsi pendidikan seni
diberikan di sekolah umum secara filosofi, psikologis, maupun sosiologis
memiliki fungsi ganda, yaitu dapat difungsikan untuk seni itu sendiri maupun
seni untuk non-seni atau seni hanya sebagai alat pendidikan.

Dualisme dalam konsep pendidikan
seni, yang  secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
(1) yang dikaitkan dengan tujuan ekspresi artistik  dan (2) yang dikaitkan
dengan kepentingan pendidikan (bukan seni, termasuk konsep seni budaya)

Dualisme ini lebih terjabar dari
berbagai kepentingan fungsi pendidikan seni diberikan di sekolah umum misalnya
untuk membantu mengembangkan potensi estetik dan kepribadian anak didik. Fungsi
tersebut meliputi: (1) seni sebagai wahana ekspresi, (2) seni sebagai sarana

pengembangan/pembinaan kreatifitas, (3) seni sebagai sarana pengembangan bakat
anak, (4) seni sebagai sarana pembinaan ketrampilan, (5) seni sabagai sarana
pembentukan kepribadian, dan (6) seni sebagai sarana pembinaan impuls
estetik. Dualisme ini di Barat atau di mancanegara penafsirannya bisa
berbeda dengan di Indonesia, sebab adanya sikap  tegas terhadap kualitas
guru yang akan mengajar tentang seni, sebab seni merupakan industri masa depan
sesudah abad ke 20.

Dalam perjalanannya, umumnya
teori-teori ini mendapat kritik, misalnya seni untuk ketrampilan
dianggap hanya “vocasional”, ekspresi seni yang berasal dari
pemikiran Freudian, dianggap hanya melayani perasaan (manusia sakit,
atau pesakitan, lihat uraian Ken Wilber sebelumnya),
teori “multikultural” sebenarnya juga mendapat kritik karena
dipengaruhi oleh filosofi aliran “posmodern” yang anti
terhadap keuniversalan seni, dan lebih mementingkan sejarah dan
budaya lokal yang sangat luas itu, masalah yang terpenting dari itu semua
adalah adanya tujuan ganda pendidikan seni dalam sekolah umum. Hasil dari itu
semua adalah keragu-raguan guru dalam mengajar seni.


Teori-teori terbaru tentang seni, menjelaskan konsep dan teori seni bisa
bertentangan dengan teori seni berasal dari budaya. Misalnya teori Dutton

(lihat bagian 1) seni itu adalah individual yang Dutton mengganggap sebagai
evolusi biologis, yang dapat dibandingkan dengan teori evolusi Darwin.Dutton
menolak premis bahwa seni itu semata diturunkan melalui
“budaya”. Ellen Dissanayake, bahkan menjelaskan bahwa secara
sosial budaya, seni adalah cara manusia mempertahankan hidup, dari hal yang
biasa dijadikan luar biasa (teori “Art as making special”). Peran
lembaga, pemerintah, ideologi dan politik dijelaskan oleh Howard S.,
Becker, Pierre Bourdieu  dan Bruno Latour. 

Multikulturalisme di Indonesia
berbeda dengan multikulturalisme di Amerika, sedangkan pemikiran-pemikiran
tentang multikulturalisme di Indonesia selalu merujuk kepada konsep dan
literatur Amerika.

Pendidikan seni untuk profesi
harus dimulai dari kecil, seniman-seniman besar Eropah umumnya lahir dari
pendidikan seni mulai dari usia dini. Tapi sayang, pendidikan seni yang yang
sebenarnya “tetap mahal” dan langka di dalam masyarakat kita. Sebab
jangankan untuk membeli cat dan alat seni, dalam pendidikan umum di Indonesia
untuk membeli buku saja sudah susah. Dan agak ngeri juga jika membaca
pikiran-pikiran Pierre Bourdieu,  sebab masyarakat telah dibedakan
berdasarkan golongan dan sekolah hanya untuk golongan  kaya.

Padang September, 2014

×
Berita Terbaru Update